MALEO SENKAWOR
Burung Maleo Senkawor atau yang biasa disebut 'Maleo', memiliki nama latin Macrocephalon maleo. Burung jenis ini merupakan satu-satunya dari spesies genus tunggal Macrocephalon. Burung ini adalah salah satu burung berukuran sedang dengan panjang sekitar 55 cm.
Burung Maleo memiliki bulu yang berwarna hitam dengan kulit sekitar mata
yang berwarna kuning. Iris mata burung ini berwarna kecokelatan, paruh
jingga, kaki abu-abu, serta bulu bagian bawah berwarna pink keputihan.
Burung Maleo juga memiliki jambul berwarna hitam yang keras di atas
kepalanya yang menyerupai tanduk. Meski penampilannya hampir sama,
burung Maleo jantan cenderung memiliki ukuran tubuh yang lebih besar
dibandingkan dengan yang betina.
Habitat burung maleo adalah di daerah berpasir hangat
seperti daerah pantai, daerah gunung berapi, dan daerah-daerah terbuka
lainnya yang hangat. Tempat tersebut merupakan tempat yang tepat untuk
menetaskan telur-telur mereka. Burung ini hanya dapat ditemukan di Pulau
Sulawesi, khususnya daerah hutan tropis dataran rendah di daerah
Sulawesi tengah. Diantaranya adalah Desa Saluki, Kecamatan Gumbasa,
Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Makanan utama burung Maleo adalah biji-bijian, buah, semut, serangga, dan binatang-binatang kecil lainnya.
Burung Maleo tidak mengerami telur mereka sendiri. Mereka akan mengubur
telur mereka yang ukurannya bisa sampai 5 ukuran telur ayam biasa, ke
dalam pasir atau tanah yang hangat. Ketika telur tersebut menetas, anak
burung maleo akan keluar dari dalam tanah atau pasir dan langsung bisa
terbang ke dalam hutan untuk bertahan hidup sendiri. Salah satu daerah yang masih bisa dijumpai maleo bertelur adalah di nesting ground (tempat
bertelur) Libuun, Desa Taima, Kecamatan Bualemo, Kabupaten Banggai,
Sulawesi Tengah. Lokasi untuk bertelur ini sejak 2006 dimonitor oleh
lembaga nirlaba, Alliance for Tompotika Conservation (AlTO).
Populasi Burung Maleo saat ini berada dalam status
"Terancam Punah" dalam International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List. Beberapa penyebab kelangkaan
burung ini adalah, penyebarannya yang terbatas, habitatnya yang semakin
sempit, tingkat kematian anakan maleo yang tinggi dan juga pencurian
telur-telur maleo oleh manusia.
Sementara untuk ancaman dari predator antara lain ancaman dari ular,
biawak, tikus, elang, kucing dan anjing hutan.hingga babi hutan. Saat
ini diperkirakan jumlah burung maleo tidak lebih dari 10.000 ekor.
Burung maleo mempunyai kisah hidup yang sangat unik. Burung maleo dewasa berpasangan sehidup semati dan utamanya hidup di dalam hutan asli Sulawesi. Namun, waktu si betina sudah siap untuk bertelur, pasangan maleo itu berjalan kaki berkilo-kilometer ke tempat bertelur komunal, yang biasanya terletak di pesisir pantai, atau di dekat mata air panas di dalam hutan.
Di sana, pasangan maleo itu menggali lubang yang besar di dalam pasir
atau tanah selama berjam-jam. Di dalam lubang tersebut, burung maleo
betina itu menelurkan satu butir telur yang sangat besar. Hanya satu!
badan burung maleo seukuran ayam, sedangkan telur maleo besarnya enam
kali lipat telur ayam.
Kalau sudah bertelur di dalam lubang, pasangan maleo itu menguruk
telur tersebut dengan pasir dengan kedalaman yang mencapai satu meter.
Kemudian, mereka pulang lagi ke hutan, sementara telur dibiarkan
untuk dipanasi oleh matahari atau panas bumi. Kalau tidak diganggu,
sesudah 60-80 hari, telur itu menetas di dalam pasir. Begitu menetas,
anak maleo menggali selama 24-48 jam ke atas untuk mengirup udara segar
di alam bebas.
Sesudah beristirahat selama beberapa menit, anak maleo langsung
terbang ke arah hutan untuk hidup secara mandiri tanpa bantuan induknya.
Kini, lewat pendampingan masyarakat serta penyadaran akan pentingnya
maleo tetap ada di habitatnya, populasi maleo yang sempat turun sangat
dratis sebelum AlTO datang kini sudah menunjukkan peningkatan populasi
yang sangat siginifikan.
Lewat beberapa program, masyarakat desa juga mulai sadar bahwa maleo sebenarnya adalah harta karun milik mereka yang terbesar.