welco-me!

welco-me!

Selasa, 20 Oktober 2015

Ilmu Budaya Dasar

Apa kaitan Ilmu Budaya Dasar dengan Psikologi? Dan kenapa sih kita harus belajar Ilmu Budaya Dasar?


Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa dan perilaku manusia.
Sedangkan Ilmu Budaya Dasar adalah ilmu yang mempelajari tentang budaya dan lingkungannya.
Lalu apakah hubungan dari keduanya? Pada dasarnya kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan perwujudan manusiawi dari individu-individu yang berada dalam masyarakat pendukungnya sehingga permasalahan kebudayaan dan lingkungan akan selalu berkembang sejalan dengan perkembangan pola pikir dan kebutuhan manusia yang tidak akan bisa lepas dari aspek psikologis dan kepribadian dari orang-orang dalam masyarakat tersebut.
Dan dapat disimpulkan maka tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya dari kebiasaan (Folkways) dan tata kelakuan (mores) tetapi sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial, oleh para anggota suatu masyarakat. Oleh karena itu sebagai orang yang kelak akan menjadi psikolog, sudah seharusnya mempelajari Ilmu Budaya Dasar yang sangat berkaitan dengan jurusan Psikologi.

Kelompok fenomena yang ada di masyarakat yang berhubungan dengan Psikologi


Fenomena yang berkaitan dengan psikologi sosial pemerkosaan pada anak dibawah umur

Akhir-akhir ini publik digemparkan dengan berita kasus pemerkosaan anak di bawah umur. Salah satu yang cukup menggegerkan adalah kasus pemerkosaan terhadap seorang siswa kelas V SD (Sekolah Dasar) bernama Risa yang dilakukan oleh ayah kandungnya sendiri. Pada kasus ini, tindak pemerkosaan justru diketahui belakangan, di mana saat Risa dirawat di rumah sakit mengalami demam tinggi dan kejang. Ketika dokter akan memberi obat kejang melalui (maaf) anusnya, baru diketahui bahwa alat kelaminnya mengalami infeksi. Saking parahnya infeksi yang diderita bocah berusia 11 tahun tersebut, mengakibatkannya meninggal dunia. Kasus pemerkosaan ini cukup menguras emosi publik. Banyak yang bersimpati dan turut prihatin atas peristiwa yang menimpa bocah tersebut. Tidak sedikit orang mengecam bahkan menghujat si pelaku yang tak lain adalah ayah kandungnya sendiri sebagai binatang biadab. Orang tua yang seharusnya memberikan perlindungan, tetapi justru memberikan penderitaan yang berakhir pada kematian.
Satu lagi yang tak kalah menggemparkan yakni kasus pemerkosaan terhadap seorang siswa kelas V SD yang terjadi di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Menggegerkan dan memprihatinkan karena pelakunya tak lain adalah teman sekolahnya sendiri sebanyak 5 orang. Pelaku dan korban sama-sama masih bocah yang berusia sekitar 11 hingga 13 tahun, tentu saja masih tergolong sebagai anak di bawah umur. Bagaimana mungkin bocah yang ‘seharusnya’ masih polos bisa berkelakuan mesum seperti itu? Bagaimana bisa mereka memiliki pikiran cabul, bahkan merealisasikannya dengan memperkosa temannya sendiri? Apa yang menyebabkan hasrat seksual anak-anak tersebut muncul di usia yang terbilang sangat belia? Beberapa pertanyaan tersebut bisa saja muncul dalam benak setiap orang yang membaca berita kasus pemerkosaan ini di media massa atau melihatnya di televisi.
Masih banyak kasus pemerkosaan terhadap anak di bawah umur yang terjadi. Namun, tentunya tidak akan dijabarkan semuanya di sini. Dua kasus yang disebut di atas hanya merupakan contoh bahwa kekerasan seksual terhadap anak dapat dikatakan sudah masuk dalam taraf mengkhawatirkan. Maraknya kasus pemerkosaan terhadap anak di bawah umur seolah telah menjadi sebuah fenomena bahkan ‘tren’. Kasus demi kasus mulai terkuak ke publik, entah pelaku atau korbannya adalah anak di bawah umur. Sungguh miris dan memilukan.
Dari sudut pandang psikologis, pemerkosaan terhadap anak di bawah umur umumnya dilakukan oleh orang terdekat, bisa keluarga baik itu ayah, paman, kakak, ataupun teman-temannya. Pelaku diduga mengalami depresi dengan kehidupannya sendiri. Kondisi tersebut menyebabkan pelaku mengalami penyimpangan sosial sehingga melampiaskannya kepada orang-orang terdekat. Oleh sebab itu, banyak ditemukan kasus-kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh kakak, paman, bahkan ayah kandung sendiri.
Keretakan hubungan rumah tangga yang memicu terjadinya perceraian juga ambil bagian dalam maraknya kasus pemerkosaan terhadap anak. Mengapa? Perceraian memunculkan ayah tiri yang notabene pengganti peran ayah kandung, tetapi justru menjadi perusak masa depan anak. Hal ini memang tidak bisa dipukul rata, dalam arti tidak semua ayah tiri identik dengan pelaku pemerkosaan. Namun, kebanyakan kasus pemerkosaan terhadap anak dilakukan oleh ayah tiri. Alasan yang dikemukakan beragam, ada yang tidak puas dengan ‘sang ibu’, ibu yang terlalu sibuk bekerja sehingga tidak bisa melayani ‘sang ayah’, khilaf, dan fedofilia. Fedofilia dapat dipahami sebagai suatu gangguan psikoseksual di mana orang dewasa menyukai anak-anak secara seksual. Dengan kata lain, orang dewasa mengalami kepuasan seksual bersama dengan anak di bawah umur. Dampak dari semua itu akan bermuara pada gangguan perkembangan anak secara psikologis.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar